Mei 11, 2012

Ibuku, Adalah Wanita dalam Pasungan itu

Pagi yang cerah, semburat pesona cahaya muncul perlahan dari balik rimbun nya dedaunan, kilaunya merasuk ke dalam sebuah kamar Gubuk tua di sebuah pinggiran pematang sawah. Tampak seorang Nenek tua renta dengan kerut keriput di wajahnya, berjalan tertatih menuju sebuah bilik kamar yang seolah tak berpenghuni.

“ Rat, ini kubawakan makanan untukmu, di makan ya”. Nenek tua itu berkata pada anaknya.

Dari balik Jendela, terlihat seorang wanita paruh baya sedang berada dalam pasungan, hanya di temani Kain Jarik berwarna Coklat, Cangkir tua berisikan air putih dikala dia haus dan Lampu Sentir yang di letakkan pada bilik bambu yang penuh dengan sarang laba-laba. Wajahnya yang dulu cerah, putih bersih kini berubah kuyu dan lemah. Sejak Setahun lalu dalam pesakitan, tak ada lagi yang bisa di lakukkannnya kecuali hanya berdiam diri di dalam kamar sempit itu. Kisah nya menjadi buah bibir warga kampung, bahkan ketika aku mengajaknya keluar Ibu selalu menangis, mencaci, bernyanyi bahkan meracau, sebab itulah Warga Kampung resah dan meminta Ibu berada dalam pasungan.

Ratna, nama wanita paruh baya itu, sesekali dia berurai air mata di dalam pasungan nya, namun sejurus kemudian berpendar tawa di wajah kuyu nya. Sejak Ayah meninggal dalam sebuah kecelakaan, Ibuku seperti kehilangan akal sehatnya, cinta yang mereka bangun selama 13 tahun hilang sudah bersama Sang Belahan Jiwa. Setiap hari, selalu tampak gurat kesedihan di balik wajahnya. Bahkan Ibu pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya dengan naik ke atas Genteng tetanggaku dengan sebilah parang yang sudah siap di tangannya, namun berhasil di cegah oleh warga sekitar.
Kami tinggal dalam gubuk tua itu hanya bertiga dengan Nenek ku yang bernama Nek Isah, Ibu dan aku yang masih duduk di bangku sekolah kelas 1 SMP, kami terbiasa hidup dalam kebersahajaan

“Nisa berangkat sekolah ya, Bu! Ku kecup lembut pipi Ibu. Tak lupa ku bisikkan kata sayang kepadanya “ Nisa sayang Ibu “.

Dalam Perjalanan Ke Sekolah

“Nis…Apa kau tidak malu mempunyai Ibu yang seperti sekarang ini?” Dina sahabatnya bertanya pada Nisa ketika mereka berjalan menuju Sekolah.
“ Ah..kenapa aku harus malu, toh kenyataan nya dia adalah Ibuku, Ibu yang melahirkan dan merawatku dengan susah payah. Kalaupun sekarang aku yang merawatnya, itu karena Tuhan ingin menguji kesabaran ku “.

“ Lalu, apa yang kau lakukkan bila teman-teman kita mengejekmu?”. Maafkan aku Nis, jika begini pertanyaanku”.

Aku menatap wajah Dina sahabatku itu dengan lembut sambil berkata :
“ Din…terima kasih ya, atas persahabatan kita ini, kau tidak menjauhiku seperti yang lainnya. Dulu  sebelum Ibuku seperti sekarang ini, Beliau pernah menasehatiku bahwa “ tidak ada satupun Ciptaan Tuhan yang gagal, karena Dia Maha Sempurna, walaupun manusia itu lahir dalam keadaan cacat sekalipun, bahkan mungkin seperti yang di alami Ibuku saat ini”

“ Din.. Aku yakin ini yang terbaik yang di berikan Tuhan terhadapku”. Dina pun menatap wajah sahabatnya itu dan memeluknya erat, mereka pun kemudian melanjutkan perjalanan sampai di pintu Gerbang Sekolah menuju kelas mereka masing-masing.

Sepulang Sekolah

Siang itu Matahari amat terik, Aku dan Dina berjalan melewati sebuah Jembatan yang hampir putus dan pinggiran Pematang Sawah. Kami biasa melintasi area – area tersebut sejauh 3 Km. Karena Sekolah kami hanya ada di dekat Kecamatan. Sepulang Sekolah Aku tidak berlama lama beristirahat ataupun sibuk bermain dengan teman sebaya ku. Karena Aku harus berjualan Susu Kedelai yang ku ambil tak jauh dari Rumah demi untuk membantu Nenek dan Ibu. Harta peninggalan Kakek berupa Sebidang Rumah dan Sawah telah habis di jual untuk mengobati Ibu yang hingga kini ini tak kunjung sembuh. Kini hanya Gubuk tua yang masih tersisa dan ditempati oleh kami.

Aku biasa berkeliling menjajakan dagangan sepulang Sekolah hingga Pukul Empat Sore. Setelah pulang dari berjualan biasanya aku langsung mandi dan berkemas ke rumah Ibu Guru tempat Aku dan Dina Mengaji dan Belajar.

“ Nis, hari nampaknya gelap sekali, ayo lekas kita berangkat ”
“ Iya, sabar Din, Aku pamitan dengan Ibuku dulu ”.

Setelah berpamitan, mereka berjalan melewati jalan setapak sejauh 1 Km untuk sampai di rumah Ibu Guru kami sebelum adzan maghrib berkumandang.

“ Nisa dan Dina, kalian adalah murid terbaik yang Ibu punya, walaupun jarak rumah kalian jauh namun itu tidak menghalangi kalian untuk bisa ke sini setiap harinya”.

“ Semoga kalian menjadi Suri Tauladan di Masyarakat dan menjadi anak-anak yang berguna untuk Agama dan Orang tua kalian, sampaikan Salam Saya untuk Orang tua kalian “. Begitu nasehat Ibu Jannah.

Kedua Sahabat itu saling berpelukan, mereka berjanji akan selalu mengingat nasehat Ibu Guru sampai kapanpun. Setelah pukul Delapan malam merekapun berpamitan untuk pulang kerumah.

Malam itu angin berhembus semilir, suasana kampung yang tidak begitu ramai membuat penduduk lebih memilih untuk masuk ke dalam rumah mereka selepas Maghrib, hanya Nampak dua orang sahabat itu berjalan menyusuri jalan yang sama, di temani  suara Jangkrik dan bermandikan Cahaya Rembulan yang redup, mereka bergegas mempercepat langkah mereka, karena hari akan segera turun hujan.

“ Din, cepetan yuk, hujan turun semakin deras, kita sudah kepalang tanggung nih, sekitar 15 menit lagi kita sampai di rumah”.
“Apa tidak sebaiknya kita berteduh dulu di rumah penduduk itu Nis”, Dina menunjuk salah satu rumah warga.

“ kalau kita berteduh, akan lebih larut malam lagi kita akan sampai di rumah, Din “
“ Perasaan ku tidak enak Din, aku lupa mengisi Lampu Sentir dirumah dengan minyak tanah, tadi kulihat tinggal setengahnya, Nenek tidak tahu aku menaruh di mana minyak tanah itu “.

“ Baiklah kalau begitu, sebenarnya aku takut dengan petirnya Nis, tapi kalau ada kamu di sampingku, aku siap melewati apapun”. Nisa hanya tersenyum mendengar perkataan sahabatnya itu.

Persahabatan kami yang begitu kental sedari kecil, membuat kami mampu melewati suka duka persahabatan kami selama ini. Setelah hampir sampai di dekat rumah ku, langkahku seperti tertahan. Aku melihat warga sekitar rumah sudah berkumpul di depan Gubuk tua itu, terlihat orang keluar masuk disana.

“ Ada apa ini? Apa Ibu ku sudah berbuat Onar lagi sehingga meresahkan Warga Kampung? “ Gumam ku kala itu.

Seperti tanpa di komando, aku langsung menerobos  masuk kedalam rumah, aku tak pedulikan lagi buku-buku yang berjatuhan dan Baju ku yang basah kehujanan. Segera saja aku langsung masuk ke Ruang Depan Namun diriku tak mendapati Nenek Isah yang biasa tidur di Bale Bambu. Mataku langsung tertuju pada Kamar Ibu  yang sudah di kerumuni Warga. Sejurus kemudian, tangisan ku langsung membuncah, memecahkan suasana dalam Gubuk tua. Bagai di sampar petir, kini aku mendapati Nenek dan Ibu ku sudah terbujur kaku saling berpelukan dalam Kain Jarik berwarna Coklat itu.

Bidan tetangga desa yang datang menjelaskan pada ku bahwa mereka telah meninggal karena kaku kedinginan, hujan deras yang mengguyur sedari sore memang amat menusuk tulang, di tambah keadaan Gubuk tua yang selalu kebocoran dikala hujan datang. Gubuk yang hanya ada dua Lampu Sentir sebagai penerangan dimalam hari, rupanya tidak cukup membuat kehangatan di tubuh mereka. Hingga akhirnya mereka terbujur kaku dengan posisi saling berpelukan.

Ada penyesalan yang mendalam yang aku rasakan, “Ah…andai saja aku tidak lupa untuk mengisi lampu-lampu sentir yang tinggal setengah itu, mungkin tidak begini kejadiannya, namun ini semua sudah ditakdirkan yang Maha Kuasa”.

“ Ya Tuhan, selagi Engkau luaskan rasa sabar di hatiku, dan selama Engkau tahu aku mampu melewatinya, aku pasrah menerima cobaan ini”.
Tak terasa air mata ini sudah meleleh membasahi pipi ku

Demi melihat jasad Nek Isah dan Ibu yang sedang di urus oleh warga sekitar, perlahan pandanganku mulai buyar, pikiranku serasa melayang di udara dan lama kelamaan aku merasakan semakin gelap, semakin menjauh hingga akhirnya aku tak sadarkan diri.

*********


Catatan :
-         Lampu sentir : lampu dengan 1 sumbu kompor dan minyak tanah.
-         Kain Jarik adalah kain Batik khas Jawa tengah yang bisa dipakai untuk selimut


Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata, mohon maaf apabila ada kesamaan nama dan kejadian karena ini hanya untuk kepentingan semata tanpa maksud apapun. Kritik dan Saran yang membangun sangat saya harapkan yach. Salam :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar